Banyak orang masih bingung membedakan antara Bitcoin dan emas ter-tokenisasi. Sebenarnya inti perbedaannya adalah: yang satu merupakan “aset digital asli yang langka”, sedangkan yang lainnya adalah “memindahkan aset fisik ke blockchain”. Keduanya bukan hubungan kompetisi, justru lebih seperti dua pilar dalam strategi alokasi portofolio.

Mari kita bahas Bitcoin dulu. Batas maksimum 21 juta koin sudah tertulis permanen di dalam kodenya, mengandalkan konsensus seluruh jaringan, bukan jaminan dari satu institusi tertentu. Keunggulannya jelas—likuiditas tinggi, potensi kenaikan nilai besar, tapi risikonya adalah volatilitas yang ekstrem. Volatilitas tahunan bisa mencapai 50% sampai 80%, arah kebijakan dan inovasi teknologi bisa membuat harganya naik turun seperti roller coaster.

Emas ter-tokenisasi jauh lebih stabil. Karena didukung cadangan fisik, secara alami mewarisi sifat emas sebagai aset lindung nilai, volatilitasnya kecil, transaksi di blockchain juga jauh lebih praktis dibanding emas batangan fisik, bahkan bisa terhubung tanpa hambatan ke protokol DeFi untuk berbagai inovasi baru. Namun tantangannya, kamu harus percaya pada pihak kustodian—apakah cadangannya benar-benar cukup, apakah penebusan bisa berjalan lancar, semua itu adalah potensi risiko.

Logika alokasinya sebenarnya sangat jelas: pemain agresif mengejar Bitcoin demi potensi imbal hasil tinggi, sedangkan yang konservatif memilih emas ter-tokenisasi untuk menjaga modal. Institusi lebih cerdik, mereka biasanya membagi porsi di kedua aset untuk mengimbangi ketidakpastian ekonomi makro dan geopolitik.